Sabtu, 24 Desember 2016

Filsafat cina

FILSAFAT CINA

Dalam memahami asal mula Filsafat Cina, ada 3 hal yang perlu diketahui. Pertama, filsafat adalah sebuah usaha sadar untuk memformulasikan pandangan-pandangan dan nilai-nilai sebagai ekspresi dari keyakinan fundamental sekelompok orang. Karenanya filsafat tidak dapat dilepaskan dari latar belakang budaya dan tradisi kelompok  tersebut. Dalam hal ini adalah bahasa, seni, literatur, dan agama. Yang kedua, filsafat sebagai sebuah aktivitas yang berkelanjutan haruslah dipandang sebagai sesuatu yang muncul dari aktivitas praktis kehidupan yang berfokus pada pemecahan masalah tentang pengetahuan yang benar, pemahaman asali, dan penghargaan yang wajar atas berbagai masalah kehidupan, entah secara individu ataupun sosial. Yang ketiga adalah lebih berupa konstruksi-konstruksi teoretis sebagai hasil pemikiran filosofis ataupun kegiatan kultural dari suatu kelompok orang/masyarakat (Fung Yu-Lian,2007:5) .

Filsafat Cina dikenal terbagi menjadi beberapa bagian, bagian-bagian tersebut adalah:

1.   Konfusius

Ulasan yang lebih detail tentang kehidupaan Confusius adalah biografi yang terangkum dalam bab empat puluh tujuh Shih Chi atau Historical Records (sejarah dinasti Cina pertama, lengkap ca. 86 SM). Dari riwayat hidupnya ini, bisa didiperoleh ide bahwa ajaran-ajaran Konfusius lahir atas keprihatinannya akan situasi sosial dan politik pada saat itu. Bagi Konfusius kekacauan itu timbul karena Li kehilangan jiwanya. Untuk menghidupkan kembali Li berarti menghidupkan kembali ritual dan musik denngan pendasaran pada Ren. Seperti kita ketahui, Konfusiuslah yang mengambil kitab klasik dinasti Zhou keluar dari tempat penyimpanannya dan membeberkannya di depan umum. Konfusius pulalah yang mengubah aneka tata cara dan upacara serta kebiasaan feudal menjadi suatu sistem etika. Konfusius berjuang tanpa kenal lelah sepanjang hidupnya untuk membangun dan memelihara suatu masyarakat yang tertib dan teratur dengan terus menerus menekankan pentingnya hubungan antara manusia atas dasar doktrin ren.
Ren, adalah gagasan sentral dari Konfusianisme yang juga merupakan kelanjutan yang lebih jernih dari gagasan yang hidup sebelum jaman Konfusius. Ren bisa dipahami sebagai: kebaikan hati ataupun kasih antar manusia. Kebaikan ini adalah hakikat terdalam manusia yang membuat unsur lain (dalam hidupnya) menjadi mungkin. Menurut Konfusius ‘ren’ adalah sesuatu di dalam diri yang membuat seseorang sungguh-sungguh manusia. Sedangkan Li  mengandung arti ‘tatacara dan upacara keagamaan’, tetapi Konfusianisme memberi arti lebih luas dari pada sekedar ritus dan ritual, yaitu, segala sesuatu yang terkait pada tindakan tepat manusia, dan Xiao merujuk pada tindakan antar manusia yang menumbuhkan ‘ren’ yang juga berarti “hormat bakti yang muda terhadap yang lebih tua”.

2.   Taoisme.

Taoisme diajarkan oleh Lao Tse (“guru tua”) yang hidup sekitar 550 S.M. Lao Tse melawan Konfusius. Menurut Lao Tse, bukan “jalan manusia” melainkan “jalan alam”-lah yang merupakan Tao. Tao menurut Lao Tse adalah prinsip kenyataan objektif, substansi abadi yang bersifat tunggal, mutlak dan tak-ternamai. Ajaran Lao Tse lebih-lebih metafisika, sedangkan ajaran Konfusius lebih-lebih etika. Puncak metafisika Taoisme adalah kesadaran bahwa kita tidak tahu apa-apa tentang Tao (Abu Ahmad,1975: 157).

3.  Mencius dan Xunzi

Konfusianisme bermula dari ajaran Konfusius, tetapi kemudian dibangun dan dikembangkan oleh Mencius dan Xunzi. Seperti Konfusius, Mencius mendasarkan ajarannya pada Ren, tapi ia menyatakan bahwa untuk membina Ren harus dikembangkan yi atau kebaikan. “Yang disimpan dalam hati adalah ren, yang dipakai dalam tindakan adalah yi.” Jadi, ren adalah prinsip tepat untuk mengawasi gerak internal, sedangkan yi adalah cara tepat untuk membimbing tindak eksternal.  Lebih lanjut lagi, Ia menekankan Sistem Keluarga yang diungkap Confusius; yaitu sistim masyarakat Tionghoa, ada 5 jenis hubungan yaitu Raja-Menteri, Ayah-Anak, Suami-Istri, Kakak-Adik, teman-teman.

4.   Mohisme

Adapun perbedaan pendapat anatara konfusianis dan mohis adalah sebagai berikut: Para Konfusianis mementingkan relasi yang tepat (Lǐ), tanpa memikirkan keberuntungan. Dari segi moral atau pendirian, para Konfusianis mengutamakan kebenaran dan kemurnian, tanpa menghitung keberhasilannya. Penganut Mo Tzŭ lebih pragmatis. Mereka mengutamakan secara khusus keberuntungan (Lì) dan pencapaian (Kung).
Dengan demikian, tolok ukur kebenaran sebuah prinsip menurut Mo Tzŭ adalah seberapa besar keberuntungan yang diberikan kepada negara dan rakyat jelata. Segala sesuatu harus berguna, dan semua prinsip harus bisa diaplikasikan supaya menyumbang sesuatu nilai secara mandiri. Maka sesuatu prinsip yang tidak bisa diejawantahkan nilainya, ataupun tidak bisa diajarkan secara efektif kepada manusia lain untuk mengejawantahkan nilainya, hanya rasio belaka. Tetapi pendirian Mo Tzŭ ini bertabrakan dengan idealisme Konfusianis, yang mengutamakan pembentukan moralitas yang mendukung tindakan seseorang, supaya bertindak mengikut apa yang benar, dan bukan mengikut apa yang lebih
memanfaatkan.

5.   Daoisme
    
Lao Zi dan pengikutnya menduga bahwa ada yang salah dalam hakekat masyarakat dan peradabannya. Mereka menganjurkan rakyat Cina untuk membuang semua pranata dan konvensi yang ada. Mereka percaya bahwa manusia yang dulu mempunyai suatu surga kemudian hilang karena kekeliruannya sendiri, yaitu karna ia mengembangkan peradaban. Menurut Lao Zi dan pengikut pengikutnya, cara terbaik untuk hidup adalah menarik diri dari peradaban dan kembali kepada alam, dari keadaan beradab ke keadaan alami. Inilah jalur pemikiran naturalistic yang dikenal sebagai Daoisme yang menjunjung tinggi Dao dan alam.
            Chuang Tzu memandang Dao sebagai totalitas dari spontanitas segala sesuatu di alam semesta ini. Semua hal harus dibiarkan berkembang sendiri, secara alami dan spontan, Akan tetapi Yang Tzu berpendapat bahwa Dao adalah suatu kekuatan fisis yang buta. Dao menghasilkan dunia tidak atas dasar perencanaan atau kehendak, tetapi atas dasar keniscayaan atau kebetulan. Pendapat ini merupakan pendapat yang mewakili kaum materialistic Daoisme. Apapun perbedaannya, ajaran ajaran mereka menekankan bahwa manusia harus cocok dan serasi dengan kodratnya dan puas dengan apa adanya

6.   Neo Konfusianisme
           
Neo-Konfusianisme adalah bentuk Konfusianisme yang terutama dikembangkan selama Dinasti Song, tetapi aliran ini mulai nampak ke permukaan sudah sejak zaman dinasti Tang lewat Han Yu dan Li ao. Mereka membuka cakrawala baru Neo-Konfusianisme, yaitu dimensi kosmologis dalam refleksi mereka. Zhou Dunyi merupakan tokoh yang tak boleh dilupakan. Kosmologi Zhou Dunyi merupakan pengembangan butir-butir ajaran Apendiks dari Kitab Yi Jing dan dia memakai diagram daois untuk ilustrasi dan membentuk ‘Tai Ji Tu dan Tai JI Shuo-nya. Selain Zhou Dunyi masih ada Shao Yong (kosmologis lain yang mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Bedanya dengan Zhuo dia memakai 64 hexagram Yi Jing). Sementara Zhang Zhai (kosmologis lain yang juga mengembangkan ajarannya berdasar juga Apendiks dari Kitab Yi Jing. Namun dia menekankankan dan mengolah lebih jaug gagasan Qi). Mewarisi ‘ke-satu-an’ dari segala dari Zhang Cai, itu yang dikembangkan Cheng Hao menjadi filsafatnya. Ren = rangkuman dari: Yi, Li, Zhi dan Xin, pahami itu dan tempa-tumbuhkan dengan ketulusan dan kecermatan, itulah segalanya. Secara metafisis ada kesatuan antara semua yang ada. Gagasan tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Lu Jiuyuan dan Wang Yangming yang pada akhirnya membentuk sekolah Lu wang (Fung Yu-Lian,2007:54-56).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar