FILSAFAT ISLAM
Islam berasal dari kata salam yang terutama berarti “damai” dan juga berarti “menyerahkan diri”, maka keseluruhan pengertian yang dikandung nama ini adalah “kedamaian sempurna yang terwujud jika hidup seseorang diserahkan kepada Allah”. Kata sifat yang berkenaan dengan ini adalah Muslim (Huston, 2004:254).
Filsafat Islam digolongkan ke dalam filsafat timur karena lebih dominan sifatnya yang menunjukkan idealisme seperti umumnya filsafat-filsafat yang muncul di dunia timur, seperti Cina dan India. Filsafat timur ini yang memiliki aliran idealisme utamanya bercirikan bersifat spiritual, esensinya adalah dengan berfikir. Juhaya (2008:125) mengungkapkan bahwa kata idealis itu dapat mengandung beberapa pengertian, antara lain:
• Seseorang yang menerima ukuran moral yang tinggi, estetika, dan agama serta menghayatinya.
• Orang yang dapat melukiskan dan menganjurkan suatu rencana atau program yang belum ada.
Memang pada filsafat-filsafat yang lahir di dunia timur, kebanyakan lebih mengutamakan sisi spiritual, dalam arti nilai-nilai keagamaan memang kerap mewarnai prinsip-prinsip dalam filsafat timur. Dalam prinsip filsafat timur ini pada perilaku manusia adalah digerakkan oleh nilai dan norma sehingga manusia memiliki tujuan dalam bertingkah laku. Begitu juga filsafat yang lahir dari pemikir-pemikir Islam yang lebih menekankan pandangannya mengenai dunia dengan berlandaskan pada nilai-nilai dan norma-norma yang harus ditaati oleh manusia. Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hekekat segala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah Filsafat yang berorientasi kepada Al Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah.
Pada masa pemerintahan Harun al-Rasyid naik tahta tahun 786 M, buku-buku pengetahuan Yunani banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Orang-orang dikirim ke Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip. Pada mulanya penerjemah diutamakan dalam bidang ilmu kedokteran, tetapi kemudian ilmu pengetahuan lain dan filsafat pun diterjemahkan ke dalam bahasa Siriac, bahasa ilmu pengetahuan Mesopotamia waktu itu, kemudian baru dalam bahasa Arab. Tapi akhirnya diadakan penerjemahan langsung dalam bahasa Arab. Melalui kegiatan penerjemahan inilah sebagian besar karya Aristoteles, beberapa karangan Plato serta karangan-karangan mengenai neo-platoisme, Galen dan karangan di bidang kedokteran serta ilmu pengetahuan Yunani lainnya dapat dibaca oleh alim ulama Islam. Karangan di bidang filsafat banyak menarik perhatian Mu’tazilah sehingga mereka banyak dipengaruhi oleh pemujaan daya akal yang terdapat dalam filsafat Yunani. (Juhaya, 2008:194-195). Kemajuan Islam era pertengahan tidak saja mewarisi pengetahuan Yunani-Romawi, akan tetapi telah memodifikasi dan menyempurnakan pengetahuan sebelumnya. Hal ini dibuktikan dengan hasil usaha kreatif cendikiawan muslim seperti al-Kindi, Ibn Sina, al-Farabi, al-Razi dan setelahnya, selain mengadopsi kekayaan pengetahuan mereka, juga melahirkan teori dan pengetahuan orisinil yang sama sekali baru. Peradaban Yunani, Persia dan Romawi jelas menyumbangkan peradaban yang sangat berharga bagi Islam. Peradaban Zoroastrian (Sassanian) telah mencapai puncak renaisan kebudayaannya pada abad ke enam, sebelum Islam datang di tanah Arab. Hal ini yang kemudian menjadi pembawa obor bagi peradaban Barat, bersama-sama membawa sebuah sinkronisme kreatif baru pemikiran ilmiah dan filosofis Yunani, Hebrew, India (Hindu), Syirian, dan Zoroaster.
Mengenai kebangkitan bangsa Arab tersebut dengan agama Islamnya, Huston Smith (2004:254-255) mengutip juga dari Philip Hitti yang menyatakan sekitar nama orang Arab bersinarlah lingkaran cahaya dari kegemilangan yang dimiliki oleh para penakluk dunia. Dalam waktu satu abad setelah bangsa ini muncul, mereka telah menjadi tuan dari suatu daerah kekuasaan yang terbentang dari pantai Samudra Atlantik sampai ke perbatasan Cina, yang merupakan suatu daerah kekuasaan yang lebih besar dari kekaisaran Romawi pada zaman puncak kejayaannya. Dalam masa perluasan wilayah yang luar biasa ini mereka “merangkul berbagai unsure asing ke dalam kepercayaan, bahasa dan bahkan bentuk fisik mereka, lebih daripada yang pernah atau sesudahnya, tidak terkecuali orang Yunani, Romawi, Anglo-Sakson, atau Rusia”. Tentu saja periode yang dimaksud dalam kutipan tersebut adalah saat pemerintahan Harun al-Rasyid.
Filsafat Islam memiliki karakteristik sekaligus sebagai keunikan tersendiri. Setidaknya, terdapat tiga karakteristik yang dapat kita diketemukan dalam khazanah ini, yaitu peripatetisme (Masysya’iyyah), iluminasi (Israqiyyah) dan teosofi transenden (al-hikmah al-muta’aliyah).
Ketiga karakteristik tersebut sudah sering dikaji oleh para sarjana muslim.
Filsafat peripatetisme adalah paham kelanjutan dari pengaruh ide-ide Aristotelian yang bersifat diskursif-demontrasional. Corak dari Aristotelian yaitu hylomorfisme, suatu paham yang cenderung bersifat material. Peripatetisme dimulai sejak al-Kindi, yang melewati antara lain, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Thufail dan Ibn Bajjah hingga Ibn Rusyd. Mungkin, hanya Ibn Rusyd saja yang agak berani membersihkan Aristotelianisme dari Neo-Platonisme. Filsafat iluminasi (Israqiyyah) berbicara mengenai suatu kilatan-mendadak dalam bentuk pemahaman atau ilham sebagai suatu arus cahaya. Asal mulanya, teori ini berakar dari pola-pola Platonik, yang selama periode Hellenistik dan Romawi aliran ini diserap dan tergabungkan dalam pikiran Kristiani dan Yahudi. Tokoh yang ternama dalam corak filsafat iluminasi yaitu Surawardi. Sebagai pencetus paham iluminasi, dia telah membuka jalan suatu dialog dengan wacana-wacana dan upaya-upaya religius atau mistis dalam dunia ilmiah. Dia juga termasuk filosof yang meyakini adanya perennial wisdom. Sebuah jalan kebenaran yang dijadikan ukuran adalah pengalaman “intuitif” yang kemudian mengelaborasi dan memverifikasinya secara logis-rasional. Sementara filsafat hikmah di perkenalkan oleh Mulla Shadra. Dia membangun aliran baru filsafat dengan semangat untuk mempertemukan berbagai aliran pemikiran yang berkembang di kalangan kaum muslim. Yakni tradisi Aristotelian cum Neo platonis yang diwakili figur-figur al-Farabi dan Ibn Sina, filsafat Israqiyyah, pemikiran Irfani Ibn ‘Arabi, serta tradisi kalam (teologi dialektis). Filsafat hikmah cenderung berbicara masalah esensi (wujud), sehingga sering disebut-sebut sebagai eksistensialisme Islam. Aliran ini mempercayai bahwa pengetahuan diperoleh tidak melalui penalaran rasional, tetapi hanya melalui sejenis intuisi, yakni penyaksian bathin (syuhud, inner witnessing), cita rasa (dzauq, tasting), pencerahan (hudhur, presence) (Haidar Bagir dalam Mujtahid, 2011:uin-malang.ac.id). Begitulah perkembangan filsafat Islam yang telah mendapat pengaruh dari beberapa filosof Romawi dan Yunani yang kemudian diserap menjadi beberapa pandangan baru dari kacamata Islam. Hanya saja sedikit pengaruh-pengaruh baik dari Aristoteles, Plato maupun Sokrates terakulturasi dalam filsafat ini.
Dalam pembahasan ini akan diulas mengenai pemikiran dua tokoh filosofi Islam yakni Al-Kindi dan Al-Ghazali sebagai contoh gambaran konkrit dari filsafat Islam.
• Al-Kindi (196-873 M)
Nama lengkap filsuf ini adalah Ya’kub bin Ishaq bin al-Kindi yang lahir di Kufah dan bertempat tinggal di Kindah, Yaman. Orangtuanya adalah Gubernur Basrah. Menurut keterangan Ibnu al-Nadim buku-buku yang ditulisnya itu berkisar 241 buah dalam bidang filsafat, logika, ilmu hitung, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optik, musik, matematika, dan sebagainya. Dalam The Legacy of Islam dapat kita jumpai informasi yang menjelaskan bahwa buku Al-Kindi tentang optika diterjemahkan ke dalam bahasa latin dan banyak mempengaruhi Roger Bacon.
Pengetahuan menurut al-Kindi terbagi menjadi dua, yakni Pertama pengetahuan Illahi atau ilm ila’hiy (devine science) seperti yang tercantum dalam al-Qur’an, yaitu pengetahuan langsung yang diperoleh Nabi dari Tuhan. Dasar pengetahuan itu adalah keyakinan. Kedua, pengetahuan manusiawi atau ilm insaniyy (human science) atau filsafat yang didasarkan atas pemikiran (ration reason). Filsafat baginya adalah pengetahuan tentang yang benar atau baths an al-haqq (knowledge of the truth). Dari sinilah kita bisa melihat persamaan antara filsafat dan agama. Tujuan agama dan tujuan filsafat adalah sama, yaitu menerangkan apa yang benar dan apa yang baik. Agama, disamping wahyu, juga menggunakan akal. Adapun kebenaran pertama, menurut al-Kindi, ialah Tuhan (Allah). Dialah al-haqq al-awwal, the first Truth. Dengan demikian filsafat membahas soal Tuhan, agama pun yang menjadi dasarnya Tuhan. Oleh karena itu, bagi al-Kindi, filsafat yang paling tinggi adalah filsafat tentang Tuhan.
Al-Kindi memandang jiwa sebagai intisari dari manusia. Para filsuf Islam banyak memperbincangkan hal ini, karena Al-Qur’an atau Hadist Nabi tidak menjelaskan hakikat jiwa atau ruh. Jiwa menurut al-Kindi, seperti halnya menurut al-Ghazali dan Ibn Taimiyyah, mempunyai tiga macam daya, yaitu daya bernafsu, daya pemarah, dan daya berpikir/berakal. Namun demikian, pendapat al-Kindi berbeda dengan keduanya ketika ia mengatakan ada tiga macam akal, yaitu: (a) Akal yang bersifat potensial, (b) Akal yang telah keluar dari sifat potensial menjadi actual, dan (c) Akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas (Juhaya, 2008: 1986-201).
• Al-Ghazali (1059-1111 M)
Abu Hamid Muhammad al-Ghazali lahir di tahun 1059 M, di Ghazaleh, suatu kota kecil yang terletak di dekat Tus, Khurasan, kawasan Iran dewasa ini. Al-Ghazali dalam sejarah filsafat Islam dikenal pada mulanya sebagai syak (skeptis) terhadap gejala-gejalanya. Perasaan syak ini kelihatannya timbul dalam dirinya dari pelajaran ilmu kalam atau teologi yang diperoleh dari al-Juwaini. Pada mulanya pengetahuan seperti dalam ilmu pasti itu dijumpai al-Ghazali dalam hal-hal yang ditangkap dengan panca indera, tetapi baginya kemudian ternyata bahwa panca indera juga berdusta. Sebagai upama, ia sebut bayangan (rumah) kelihatannya tak bergerak, tetapi akhirnya ternyata berpindah tempat. Bintang-bintang di langit kelihatannya kecil, tetapi perhitungan enyatakan bahwa bintang-bintang iu lebih besar dari bumi. Karena al-Ghazali tidak percaya pada apanca indera lagi,ia kemudian meletakkan kepercayaannya pada akal. Tetapi akal juga ternyata tak dapat dipercayai. “Sewaktu bermimpi”, demikian kata al-Ghazali,”orang melihat hal-hal yang kebenarannya diyakni betul-betul, tetapi setelah bangun, ia sadar bahwa apa yang ia lihat benar itu sebetulnya tidaklah benar.” Tidaklah mungkin apa yang sekarang dirasa benar menurut pendapat akal, nanti kalau kesadaran yang lebih dalam timbul akan ternyata tidak benar pula, sebagaimana halnya dengan orang yang telah bangun dan sadar dari tidurnya.
Al-Ghazali mempelajari filsafat, kelihatannya untuk menyelidiki apakaha pendapat-pendapat yang diajukan filsuf-filsuf itulah yang merupakan kebenaran. Baginya ternyata bahwa argument-argumen yang mereka ajukan tidak kuat dan menurut keyakinannnya ada yang ada yang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam.
Tasawuflah yang dapat menghilangan rasa syak (keragu-raguan) yang lama mengganggu dirinya.
Dalam tasawuflah ia memperoleh keyakinan yang dicari-crinya. Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya, itulah yang membuat al-Ghazali memperoleh keyakinannya kembali (Juhaya, 2008:202-204) Dengan demikian satu-satunya pengetahuan yang menimbulkan keyakianan akan kebenarannya bagi al-Ghazali adalah pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Tuhan dengan tasawuf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar